Serangan 10 November 1945 di Surabaya merupakan salah satu momen paling heroik dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Peristiwa ini tidak hanya menjadi simbol perlawanan rakyat terhadap penjajah, tetapi juga melahirkan Hari Pahlawan yang diperingati setiap tahun. Pertempuran yang berlangsung selama tiga minggu ini melibatkan arek-arek Surabaya yang dengan gagah berani melawan pasukan Sekutu yang jauh lebih modern dan lengkap persenjataannya.
Latar belakang serangan ini bermula dari kedatangan pasukan Sekutu ke Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Meskipun awalnya diklaim bertujuan melucuti senjata tentara Jepang dan memulangkan tawanan perang, kedatangan Sekutu—khususnya Inggris yang membawa pasukan Belanda (NICA)—dianggap sebagai upaya mengembalikan penjajahan Belanda di Indonesia. Insiden di Hotel Yamato pada 19 September 1945, dimana bendera Belanda dikibarkan menggantikan bendera Merah Putih, memicu kemarahan rakyat Surabaya dan menjadi pemicu awal konflik.
Puncak ketegangan terjadi pada 27 Oktober 1945 ketika terjadi pertempuran antara pemuda Indonesia dengan pasukan Sekutu. Pada 30 Oktober 1945, Brigadir Jenderal Mallaby, pimpinan pasukan Inggris di Surabaya, tewas dalam insiden di Jembatan Merah. Kematian Mallaby ini menjadi alasan Inggris untuk mengeluarkan ultimatum pada 9 November 1945, yang memerintahkan semua pemimpin dan pemuda Indonesia di Surabaya untuk menyerahkan senjata mereka sebelum pukul 06.00 tanggal 10 November 1945.
Ultimatum ini ditolak mentah-mentah oleh rakyat Surabaya. Dengan semangat "Merdeka atau Mati", dipimpin oleh Bung Tomo melalui siaran radio yang membakar semangat juang, rakyat Surabaya memilih bertempur hingga titik darah penghabisan. Pertempuran dahsyat pun pecah pada pagi hari 10 November 1945, dengan pasukan Sekutu mengerahkan sekitar 15.000 tentara dilengkapi tank, kapal perang, dan pesawat tempur, melawan ribuan pejuang Indonesia yang hanya bersenjatakan bambu runcing, senjata rampasan, dan semangat pantang menyerah.
Pertempuran Surabaya ini memiliki kaitan erat dengan Pertempuran Ambarawa yang terjadi hampir bersamaan. Kedua pertempuran ini menunjukkan koordinasi perlawanan di berbagai front melawan Sekutu. Pertempuran Ambarawa yang berlangsung dari 20 Oktober hingga 15 Desember 1945 di Jawa Tengah, dipimpin oleh Kolonel Soedirman (yang kemudian diangkat sebagai Panglima Besar TNI), berhasil mengusir pasukan Sekutu dari Ambarawa. Kemenangan di Ambarawa ini memberikan inspirasi dan motivasi bagi pejuang di Surabaya untuk terus bertahan.
Selain itu, konteks politik nasional juga mempengaruhi dinamika pertempuran di Surabaya. Perjanjian Linggarjati yang ditandatangani pada 15 November 1945 (hanya lima hari setelah dimulainya Serangan 10 November) antara pemerintah Indonesia dan Belanda, meskipun berisi pengakuan de facto Belanda atas Republik Indonesia, justru memicu kontroversi karena dianggap merugikan kepentingan nasional. Banyak pejuang di Surabaya melihat perjanjian ini sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan mereka yang sedang bertempur mati-matian.
Perlawanan di Surabaya juga tidak bisa dipisahkan dari perjuangan di front lainnya seperti Pertempuran Bukittinggi di Sumatra Barat. Meskipun secara geografis terpisah, semangat perlawanan yang sama terlihat dalam Pertempuran Bukittinggi yang terjadi pada periode yang hampir bersamaan. Pertempuran ini menunjukkan bahwa perlawanan terhadap Sekutu dan NICA terjadi secara serentak di berbagai wilayah Indonesia, membuktikan bahwa perjuangan kemerdekaan adalah gerakan nasional yang melibatkan seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Peran pasukan Siliwangi juga patut dicatat dalam konteks pertempuran mempertahankan kemerdekaan. Meskipun Pertempuran Siliwangi lebih identik dengan peristiwa-peristiwa di Jawa Barat, semangat dan taktik perang gerilya yang dikembangkan oleh Divisi Siliwangi banyak menginspirasi taktik perlawanan di Surabaya. Banyak veteran Siliwangi yang kemudian berbagi pengalaman mereka dengan pejuang Surabaya, menciptakan jaringan perlawanan yang solid di berbagai front pertempuran.
Serangan 10 November 1945 akhirnya berakhir pada akhir November 1945, dengan korban yang sangat besar di pihak Indonesia. Diperkirakan 6.000-16.000 pejuang dan rakyat sipil gugur, sementara di pihak Sekutu sekitar 600-2.000 tentara tewas. Meskipun secara militer kalah, pertempuran ini memiliki makna strategis yang sangat penting. Pertama, perlawanan heroik rakyat Surabaya membuka mata dunia internasional tentang keseriusan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya. Kedua, pertempuran ini memperlambat rencana Sekutu untuk menguasai seluruh Jawa, memberikan waktu bagi pemerintah Republik Indonesia untuk memperkuat posisi diplomasinya.
Untuk mengenang pengorbanan para pahlawan dalam pertempuran ini, pemerintah Indonesia menetapkan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan melalui Keputusan Presiden No. 316 Tahun 1959. Setiap tahun, di Surabaya dilakukan upacara peringatan di Tugu Pahlawan yang dibangun di bekas lokasi pertempuran sengit terjadi. Monumen setinggi 41,15 meter ini menjadi simbol perjuangan dan pengorbanan arek-arek Surabaya, dengan museum di bawahnya yang menyimpan berbagai artefak dan dokumen sejarah pertempuran.
Peringatan Hari Pahlawan tidak hanya sekadar upacara seremonial, tetapi juga momentum untuk merefleksikan nilai-nilai kepahlawanan dalam konteks kekinian. Semangat pantang menyerah, persatuan, dan pengorbanan yang ditunjukkan oleh pejuang Surabaya relevan untuk menghadapi berbagai tantangan bangsa Indonesia saat ini. Nilai-nilai ini perlu ditanamkan kepada generasi muda melalui pendidikan sejarah yang komprehensif dan penyajian fakta sejarah yang akurat.
Dalam konteks historiografi, Serangan 10 November 1945 sering dibandingkan dengan pertempuran-pertempuran besar lainnya dalam sejarah Indonesia seperti Puputan Margarana di Bali atau Perang Saparua di Ambon. Meskipun masing-masing memiliki karakteristik lokal yang unik, semua pertempuran ini memiliki benang merah yang sama: perlawanan rakyat terhadap penjajahan dan perjuangan untuk mempertahankan kedaulatan bangsa. Pemahaman komparatif ini penting untuk melihat perjuangan kemerdekaan Indonesia sebagai sebuah mosaik perjuangan yang terjadi di seluruh Nusantara.
Dari perspektif militer, Serangan 10 November 1945 memberikan pelajaran berharga tentang perang asimetris dimana kekuatan yang lebih kecil tetapi memiliki motivasi dan dukungan rakyat yang kuat mampu memberikan perlawanan sengit terhadap kekuatan yang lebih besar dan modern. Pelajaran ini kemudian diaplikasikan dalam berbagai operasi militer Indonesia selanjutnya, termasuk dalam menghadapi berbagai ancaman terhadap kedaulatan negara.
Warisan pertempuran ini juga terlihat dalam perkembangan kota Surabaya modern. Banyak jalan, bangunan, dan institusi di Surabaya yang dinamai sesuai dengan tokoh dan peristiwa terkait Serangan 10 November 1945. Selain Tugu Pahlawan, terdapat Museum House of Sampoerna yang menyimpan memorabilia perjuangan, Jalan Pemuda yang menjadi salah satu lokasi pertempuran sengit, dan berbagai monumen kecil di sudut-sudut kota yang mengingatkan pada peristiwa heroik November 1945.
Dalam konteks pendidikan, kisah Serangan 10 November 1945 menjadi materi wajib dalam kurikulum sejarah Indonesia. Namun, seringkali penyajiannya terlalu simplistik dan heroik tanpa menyertakan kompleksitas politik dan militer yang melatarbelakanginya. Penting untuk menyajikan narasi yang lebih komprehensif yang mencakup tidak hanya keberanian arek-arek Surabaya, tetapi juga konteks internasional, dinamika politik nasional, dan konsekuensi jangka panjang dari pertempuran ini bagi perjuangan diplomasi Indonesia.
Penelitian sejarah terus mengungkap fakta-fakta baru tentang Serangan 10 November 1945. Arsip-arsip dari pihak Inggris dan Belanda yang semakin terbuka memberikan perspektif tambahan tentang pertempuran ini. Demikian pula kesaksian dari veteran yang masih hidup dan dokumen-dokumen lokal yang ditemukan belakangan ini memperkaya pemahaman kita tentang salah satu momen paling menentukan dalam sejarah Indonesia modern. Pemahaman yang lebih komprehensif ini penting untuk menghindari simplifikasi sejarah dan mengapresiasi kompleksitas perjuangan kemerdekaan.
Sebagai penutup, Serangan 10 November 1945 bukan hanya milik warga Surabaya atau Jawa Timur, tetapi merupakan warisan nasional yang menjadi bagian dari identitas bangsa Indonesia. Semangat "Merdeka atau Mati" yang dikumandangkan Bung Tomo melalui radio pada saat-saat genting pertempuran tetap relevan sebagai inspirasi untuk membangun Indonesia yang lebih maju, adil, dan sejahtera. Peringatan Hari Pahlawan setiap 10 November mengingatkan kita bahwa kemerdekaan yang kita nikmati saat ini dibayar dengan harga yang sangat mahal: darah dan nyawa para pahlawan yang dengan gagah berani mempertahankan setiap jengkal tanah air dari upaya penjajahan kembali.
Dalam era digital saat ini, dimana informasi dapat diakses dengan mudah melalui berbagai platform seperti lanaya88 login untuk sumber edukasi sejarah, penting untuk memastikan bahwa narasi sejarah yang disampaikan akurat dan komprehensif. Warisan kepahlawanan dari Serangan 10 November 1945 perlu dilestarikan tidak hanya melalui monumen dan upacara, tetapi juga melalui pendidikan sejarah yang kritis dan penyebaran informasi yang bertanggung jawab. Dengan demikian, semangat para pahlawan Surabaya akan terus hidup dan menginspirasi generasi demi generasi bangsa Indonesia.